Saturday 3 December 2011

Me and Sylvia Plath, Jodoh?

Jika dulu saya sangat menyukai film Troy hingga gandrung untuk belajar mendalam tentang seluk beluk sejarah Troy, belajar siapa itu Achilles, Hector, dan Helen, sampai akhirnya saya memutuskan mengangkat novel The Iliad karya Homer untuk skripsi, saya menganggap ini adalah jodoh.
Nah sekarang ketika ada tugas membuat karya tulis tentang seorang sastrawan yang condong ke arah aliran tertentu, saya memilih Sylvia Plath (1932-1963). Mengapa?
karena Sylvia Plath ini adalah penulis beraliran anti-tradisi yang menelurkan banyak sekali puisi dan karya sastra yang rata-rata isinya mengkritisi tradisi yang dirasa tidak adil terutama untuk wanita dan anak-anak.
Saya sudah mengetahui beberapa karya Plath seperti “For a Fatherless Son” dan “Ariel” sejak beberapa bulan lalu. Buat saya pribadi, karya Plath sangat menarik karena ia berani mengkritisi tradisi yang ada. Dia berani bilang dalam salah satu karyanya yang terkenal, “The Applicant,” bahwa seorang istri hanyalah sebuah boneka. Boneka yang bisa bicara, bekerja, dll.
Hal anti-tradisi seperti ini sudah lama ada di pikiran saya. Hanya, saya lebih mengkritisi tentang budaya timur, terutama Indonesia yang sangat keluarga-sentris. Memang tidak semua, tapi ada dan menjurus. Misalkan:

  1. Jika seorang wanita dan laki-laki sudah menikah, maka masyrakat Indonesia beranggapan bahwa dua keluarga juga “menikah”. Saya setuju karena bagaimanapun saya dibesarkan di keluarga Indonesia. Tapi yang jadi masalah disini adalah, ketika semua anggota keluarga ikut campur. Coba kalau ada satu saja yang menikah tapi belum hamil juga, pasti digunjingkan kanan-kiri, ditanya “sudah isi belum?” “kapan mau punya anak?”.
  2. Kalau seorang wanita berusia 25+ dan belum menikah, pasti semua sudah heboh ditanya mama, papa, tante, om, pakdhe, budhe, dll dengan pertanyaan: “mana calonnya?” “kapan nikah?” eweeeeeee  :|
  3. Runtutan yang statis, dan jika melencenggg, sudah jadi bahan gunjingan diseluruh antero benua: sekolah-kuliah-lulus-menikah-punya anak!
  4. Daaaaaaannnnnnnn, yang paling saya benci ya ini, KESUKSESAN SEORANG LAKI-LAKI ADALAH KETIKA IA BERHASIL MEMPUNYAI ISTRI YANG CANTIK, FISIK! Ga peduli mau istrinya itu goblok, oon, apalah itu sebutannya. Maka laki-laki itu pasti akan dengan bangga menggandeng sang wanita dan PUAS dengan pandangan kagum dari sekitar terutama anggapan sukses dari keluarga. Oh well mungkin ini alasan banyak perempuan Indonesia membeli TjeF*k (no offense :p)

Empat hal tersebut masih beberapa saja dari semua hal yang saya pikirkan tentang sebuah TRADISI. Iya, mau atau tidak memang masih begitulah cara berpikir manusia di Negara ini. Bukan maksud saya ingin menghancurkan itu semua karena toh akan sia-sia dan tidak akan bisa.
Itulah mengapa saya suka sekali dengan karya Sylvia Plath yang secara tidak sengaja saya temukan ketika saya browsing tentang tradisi dan budaya. Kebetulan ada tugas akhir yang mengharuskan saya untuk menguatkan posisi seorang sastrawan di aliran tertentu. Ohh finally I choose Sylvia Plath dalam aliran anti-tradisi, karena mungkin kami mempunyai keresahan yang sama. Hanya Plath lebih jenius :p Jodoh?
beautiw

No comments: